sang kuli tinta dan smartphone pencari nafkah

-Suatu sore, di beranda rumah saya.

Saya memandang pemuda di hadapan saya lamat-lamat. Mimiknya begitu serius. Jari tangan kanannya dengah lincah menari-nari di atas keypad smartphonenya. Sementara tangan kirinya mengapit sebatang rokok, yang entah sudah batang keberapa untuk hari ini. "Aku ga bisa mikir kalau ga ngerokok. Pusing nyusun kata-katanya", ujarnya tempo hari. Yaaa, saya tidak pernah mempermasalahkan kebiasaannya itu, malah cara dia merokok menggemaskan sekali, sungguh.

Sesekali keningnya berkerut, entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Mungkin sedang asik berkonsentrasi merancang komposisi kalimat yang pas sehingga mudah dipahami pembacanya. Kalau sudah begini, dia bisa tidak tanggap dengan sekitarnya. Berani taruhan, dia pasti ga sadar saya perhatikan sedari tadi. Tapi biarlah, melihatnya bekerja sudah jadi kesenangan tersendiri buat saya.

Jari-jarinya masih aktif mengetik, dan "Aaahh..", tiba-tiba terdengar teriak kecil dari bibirnya. Gemas, ponselnya mulai hang dan memunculkan gambar jam pasir. Kepanikan terlihat di wajahnya, takut ponselnya itu tiba-tiba mati tanpa sempat disimpan ketikannya. Beruntung nasib baik masih berpihak padanya. Sebentar saja keadaan kembali normal, dilanjutkanlah kegiatan mengetik itu.

Lambat laun pandangan saya turun ke arah ponselnya. Ponsel pintar bersoftcase abu-abu yang digadang-gadang sebagai salah satu modal dalam mencari nafkah sehari-hari. Takjub, betapa tidak, benda sekecil itu berjasa besar dalam pekerjaannya. "Ga efektif dan efisien, kelamaan", jawabnya ketika saya sarankan untuk mengetik di notebook. Padahal tulisan angka dan huruf di keypadnya sudah mulai hilang satu per satu, tapi semangatnya membuat berita tidak pernah luntur.

Rokok di tangannya sudah semakin pendek. Dihisapnya untuk terakhir kali, kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri saya. "Sudah selesai sayang, masuk yuuuk".